Gudeg Koyor

Hari Selasa, 13 Mei, bersama dengan bu Tanti, Dina dan Bopa, kami pergi ke Salib Putih, Salatiga untuk survei tempat outbond. “Kita berangkat pagi-pagi saja,” ajak bu Tanti. “Kalau kepagian, saya belum bangun, bu,” jawab saya yang memang suka begadang. “Kalau bisa berangkat pagi, kita bisa sarapan gudeg koyor di Pasar Sapi,” kata bu Tanti berusaha meyakinkan,”Soalnya kalau sudah lewat jam sepuluh, koyornya sudah habis.

”Wah, kalau ini sih harus dibela-belain bangun pagi. Saya pun setuju berangkat jam tujuh pagi. Dengan disopiri mas Eko, pagi itu kami meluncur ke arah Jatinom. Inilah jalur alternatif yang paling dekat menuju Boyolali. Sayangnya jalur yang sudah padat ini dalam keadaan yang rusak. Di sana-sini banyak terdapat tambalan membuat jalan bergelombang.

Siksaan ini baru berakhir jika sudah mencapai Mojosongo, Boyolali, karena sudah masuk ke jalur utama Solo-Semarang.Pukul setengah sembilan, kendaraan sudah masuk ke kota Salatiga. Ketika sampai di lampu merah ABC, kami mampir sejenak ke “Gethuk Kethek” untuk pesan oleh-oleh (cerita tentang ini akan dikisahkan sendiri).

Setelah itu meneruskan perjalanan menuju Pasar Sapi, Salatiga. Tak membuang waktu, kami segera berjalan menuju warung gudheg koyor milik Hj. Sukini pada deretan paling Barat kios di pasar tersebut. Di sana sudah ada sempat bapak-bapak yang sedang menikmati hidangan. Dengan sigap pemilik warung melayani kami. Saya tentu saja memesan gudheg koyor. Ternyata saya mendapat tiga potong koyor yang besar-besar.

Oh, ya . . . Mungkin Anda belum tahu apa koyor itu. Saya sebenarnya juga tidak tahu secara persis sih. Tapi kata bu Tanti, koyor itu adalah otot sapi, terutama bagian kakinya. Mendengar kata “otot” maka saya membayangkan daging yang liat, alot dan susah dikunyah. Ternyata dugaan saya keliru. Daging koyor itu sangat empuk. Bahkan mudah sekali dipotong kecil-kecil menggunakan sendok. Kalau mendengar kata “sapi”, secara otomatis saya juga membayangkan baunya yang amis. Jika berbau amis, maka saya enggan menyantap daging itu. Ternyata daging pada gudeg ini tidak beraroma amis. Mungkin karena tertutup kuatnya aroma bumbu-bumbu yang menyertainya.Daging koyor ini dimasak serupa dengan bumbu krecek (krupuk dari kulit sapi), yaitu menggunakan kuas santan yang super kental dan pedas. Wuiiiih, bayangkan berapa tuh kadar kolesterolnya. Kalau Anda takut sama kandungan kolesterolnya, maka Anda dapat mengganti koyor dengan daging ayam. Ini yang dipilih oleh Dina. Tapi buat apa jauh-jauh ke Salatiga kalau tidak punya nyali menghadapi kolesterol ini?

Satu porsi gudeg mampu membuat perut kenyang dan terasa panas karena pengaruh lombok dan dagingnya. Kami pun meneruskan perjalanan.

Baca juga Gethuk Kethek dan Nasi Goreng Babat Iso Pete

Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Komentar

krismariana widyaningsih mengatakan…
wah ada ya gudeg koyor di pasar sapi? kuper betul saya ini. punya simbah yang rumahnya di desa antara ambarawa-salatiga baru kali ini tau ada gudeg koyor yg enak. kapan2 saya "tilik" gudeg koyor ah!
krismariana widyaningsih mengatakan…
wah ada ya gudeg koyor di pasar sapi? kuper betul saya ini. punya simbah yang rumahnya di desa antara ambarawa-salatiga baru kali ini tau ada gudeg koyor yg enak. kapan2 saya "tilik" gudeg koyor ah!

Postingan Populer