Senjakala Persewaan Mobil Konvensional?

Saat check out di hotel, saya tanya pada resepsionis apakah ada fasilitas airport transfer. Resepsionis menjawab ada.

"Apakah gratis?" tanyaku.

"Bayar Rp. 150 ribu, pak" jawab resepsionis ramah.

Ealah, padahal jarak antara hotel dengan bandara hanya 5 km. Untunglah sebelumnya saya sudah mengecek tarif sewa mobil secara daring (online). Ternyata lebih murah.

Sudah bertahun-tahun penumpang yang akan berangkat ke bandara atau pergi dari bandara selalu menjadi sapi perahan para penyewa mobil. Tarif yang ditetapkan sering tidak masuk akal. Bahkan taksi yang mangkal di bandara pun juga mematok tarif yang lebih mahal.

Memang beberapa bandara sudah menyediakan angkutan massal seperti kereta bandara, namun sayangnya hanya pada bandara tertentu saja. Kalau dari sisi angkutan menuju atau dari bandara, orang Klaten dan Yogya menilai bahwa bandara Adisucipto Yogyakarta adalah yang paling bagus untuk penerbangan siang atau sore. Hanya berjarak 300 meter dari bandara terdapat stasiun kecil di Maguwo. Di sini, kereta Pramex (Prambanan Express) jurusan Jogja-Solo berhenti. Dengan hanya membayar Rp. 8 ribu, maka sudah sampai di Klaten Bersinar. Sayangnya, jika bandara Yogya berpindah total ke Kulon Progo, maka kenikmatan ini akan berubah menjadi derita karena jarak dari Klaten menjadi 4 kali lipat jauhnya. Bukan soal ongkosnya melainkan waktu tempuhnya. Bisa jadi kami harus berangkat 5 jam sebelum jam penerbangan.

Pada bandara yang tidak memiliki angkutan massal, siasat yang dapat dilakukan adalah jangan mencegat taksi di terminal kedatangan, tapi berjalanlah ke terminal keberangkatan. Di sana biasanya ada taksi berargo yang baru saja mengantarkan penumpang ke bandara. Daripada pulang dalam keadaan kosong, mereka akan senang hati memberikan tumpangan kepada kita dengan membayar sesuai argo tentu saja. Alternatif ini yang ada di benak saya ketika mendarat di Bali. Waktu itu, pihak resepsionis hotel menginformasikan bahwa tidak ada jemputan di bandara. Kalau mau menyewa mobil konvensional dari bandara, maka kami harus merogoh kocek Rp. 200 ribu. Padahal jarak bandara ke hotel kami yang pertama hanya 10 km.

Saya lalu membuka aplikasi Traveloka. Ternyata ada jasa antar jemput di bandara. Biayanya Rp. 114.000,- untuk Avansa. Caranya adalah adalah memilih jenis mobil yang diinginkan, lalu membayar secara daring. Setelah itu, pergi ke counternya di terminal kedatangan. Dengan cara ini, bisa hemat Rp. 100 ribuan. Sayangnya karena terlalu mempet, semua mobil yang tersedia sudah tersewa semua.

Saya memutar otak. Biasanya Grab bisa beroperasi di bandara. Saya coba cari tahu. Ternyata memang ada, tapi meeting point-nya ada di gedung parkir bertingkat. Kami harus berjalan kaki ke sana. Tidak mengapa sebab jaraknya tidak terlalu jauh. Tarifnya hanya Rp. 94 ribu tapi membayar dengan OVO.

Cerita yang serupa juga terjadi saat menyewa kendaraan selama di Bali. Karena tidak ada angkutan umum di Bali, maka ke mana-mana harus sewa kendaraan atau berjalan kaki.

Pilihan paling murah adalah menyewa sepeda motor yaitu Rp. 75 ribu/hari. Karena kami berempat, maka setidaknya harus sewa 2 unit sepeda motor. Namun, saya mengkhawatirkan keselamatan dan kenyamanan anak-anak. Kalau sewa mobil maka relatif lebih aman dan tidak capek, terutama buat anak-anak.

Setelah browsing di internet dan tanya sana-sini pada teman harga sewa mobil konvensional sekitar Rp. 350-500 ribu/hari, di luar BBM dan sopir. Saya kembali mengandalkan aplikasi daring. Ternyata ada yang sedang promo. Menggunakan aplikasi itu, kami hanya dikenai biaya sewa Rp. 175 ribu. Kami hanya harus menambah biaya BBM dan tips buat sopir. Dengan aplikasi itu, maka kami bisa hemat Rp. 200 ribuan/hari dibandingkan jika sewa mobil secara konvensional.

Inilah yang disebut era disrupsi di mana tatann kehidupan dirombak besar-besaran. Kehadiran teknologi digital telah menggeser neraca kekuatan antara konsumen dengan penyedia jasa angkutan. Sebelumnya, penyedia angkutan konvensional bisa dengan semena-mena menetapkan tarif saja angkutan karena merasa sedang dibutuhkan. Konsumen kesulitan mencari alternatif lain. Namun penetrasi teknologi digital memungkinkan konsumen untuk mengakses informasi adanya alternatif jasa angkutan yang tarifnya lebih "manusiawi." Harganya pun sudah pasti.

Jika tidak berbenah diri, maka inilah senjakala bagi persewaan mobil konvensional. Yang dilakukan selama ini masih sebatas reaktif dengan memasang tulisan: "Ojek online dilarang menaikkan penumpang di kawasan ini."

Pada kenyataannya, konsumen rela berjalan kaki ke tempat yang tidak ada larangannya. Itu artinya bahwa moda angkutan yang baru ini sudah diterima oleh masyarakat. Jika tidak berubah, bisa jadi punah.

***



Kembali ke laptop. Rampung mengurus check out kami memutuskan untuk berjalan di tepi jalan raya untuk memastikan tidak ada tulisan larangan menaikkan penumpang ojek daring. Hanya kurang dari 5 menit, kami sudah dijemput oleh mobil sewaan. Dan yang paling penting, kami hanya membayar Rp. 12 ribu saja.

Komentar

Postingan Populer