Mencelakai Perempuan, Memancing Amarah Laki-laki

Hari Sabtu/Minggu (27/28 Nop 2005), aku mengikuti Musyawarah Anggota YLKI, Jogja. Dalam acara itu, aku bertemu dengan bu Nunuk P Murniati. Sudah lama kami tidak berjumpa dengan beliau. Kesempatan itu tidak kusia-siakkan untuk mendengarkan cerita pengalamannya sebagai anggota Komnas Perempuan. Salah satu yang menarik adalah cerita-cerita tentang kekerasan terhadap perempuan.
Dia memulai ceritanya dengan kisah tragis seorang perempuan di Manggarai, Flores. Di daerah Nusa Tenggara itu, penduduk asli sering menggali ubi sebagai tambahan makanan (sumber karbohidrat). Suatu kali ada seorang Ibu yang yang masuk ke dalam hutan untuk mencari ubi. Menurut adat, hutan itu menjadi milik desa sehingga boleh dimanfaatkan oleh siapa saja. Cilakanya, Ibu itu tidak menyadari bahwa hutan itu telah dikuasai pemerintah dan disulap menjadi kawasan reservasi. Tak ayal lagi, maka ditangkaplah si Ibu tadi dan digelandang ke kantor polisi. Meski begitu, si Ibu tadi tidak merasa bersalah karena dia mengambil ubi di hutan milik desa kok. Sementara itu, suaminya mendengar berita penangkapan itu. Terbitlah amarahnya. Dia mengumpulkan laki-laki di desanya untuk menyerbu kantor polisi, tempat penahanan isterinya. Dengan emosi yang meluap dan membawa parang, rombongan laki-laki ini bergerak ke kantor polisi. Namun di sana, para polisi sudah siap dengan senjata lengkap. Maka terjadilah bentrokan berdarah. Akibatnya 10 orang tewas.
Tragedi ini menarik perhatian Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk melakukan investigasi. Komnas HAM hanya memberikan laporan adanya 10 orang yang tewas. Namun Komnas Perempuan mencoba menelusuri akar konflik itu. Rupanya, status kepemilikan hutan itu telah lama menjadi pangkal sengketa antara masyarakat dengan pemerintah. Pemerintah mengklain hutan itu milik negara, sementara penduduk desa mengklaim hutan itu menjadi hak ulayat mereka. Dengan demikian, ketika ada perempuan di desa itu yang ditangkap karena mencari ibu di hutan, maka penduduk desa menjadi marah. Yang aneh, menurut Komnas Perempuan, ketika masyarakat berjalan menuju kantor polisi, mereka uidah dihadang oleh sepasukan polisi berpasukan lengkap. Seolah-olah mereka sudah mempersiapkan diri. Polisi beralasan, mereka hanya memertahankan diri karena penduduk desa datang sambil membawa parang. Sementara penduduk desa berkilah, mereka terbiasa membawa parang ke mana-mana (seperti orang Jawa kumo yang sering membawa keris: wawan).
Bu Nunuk menduga penangkapan ini sengaja dilakukan untuk membangkitkan kemarahan penduduk desa.
Setelah itu cerita berlanjut tentang Inong Bale di Aceh. Dua tahun sebelum Tsunami, bu Nunuk mengadakan penelitian terhadap Inong Bale (tentara perempuan GAM). Pada awalnya agak sulit mendapatkan akses ke Inong Bale, karena belum tercipta kepercayaan. Lama-lama, pihak GAM bersedia membuka diri terhadap aktivis perempuan. Ketika akan berangkat menuju markas GAM, bu Nunuk, Ita F Nadia dan kawan-kawan melapor ke kantor polisi. Pihak polisi tidak berani mengantar bu Nunuk. "Kami pasti masti kalau ke sana," kata polisi yang ditirukan bu Nunuk. Para polisi itu hanya mengantarkan sampai dengan "perbatasan kekuasaan" polisi. Setelah itu, bu Nunuk cs dijemput empat personel GAM menggunakan sepeda motor. Mata mereka harus ditutup, kemudian diboncengkan menuju markas GAM, selama sekitar 2 jam perjalanan.
Dari data-data yang dikumpulkan, bu Nunuk melihat ada sebuah pola pada kasus pemerkosaan perempuan di Aceh. Dia melihat bahwa, sebagian besar perempuan-perempuan di Aceh yang diperkosa, memiliki hubungan kekerabatan dengan anggota GAM (laki-laki). Pola lainnya yang ditemukan adalah, pemerkosaan terhadap perempuan non Aceh yang tinggal di Aceh, sebagian besar dilakukan oleh laki-laki yang memiliki salah satu familinya menjadi korban pemerkosaan.
Bu Nunuk kemudian menyinggung pemerkosaan massal kerusuhan Mei 1998. Semua itu ada maksud tersembunyi, yaitu untuk membangkitkan kemarahan laki-laki.
Dalam struktur dan budaya masyarakat yang masih patriakrkis (didominasi laki-laki), posisi perempuan/isteri diposisikan sebagai properti atau hak milik laki-laki. Hal ini dilestarikan dalam bentuk pemberian mahar atau mas kawin. Karena merasa sudah "membeli" dalam bentuk mas kawin, maka pihak suami menganggap isterinya itu sebagai hak miliknya. Anak-anak juga mengalami nasib serupa. Mereka pun tidak lebih beruntung daripada ibu mereka.
Ketika ada pihak lain yang mengusik milik ini, maka meledaklah amarah laki-laki itu. Pola-pola seperti ini sudah terjadi selama beratus-ratus tahun di masa lampau. Ketika satu pihak ingin mencari gara-gara, maka mereka akan mencederai kelompok perempuan atau anak di pihak lawan. Hal ini untuk membangkitkan kemarahan laki-laki. Dengan begitu, mereka akan kalap dan mudah untuk ditundukkan.
Pada masa DOM di Aceh, beberapa pemerkosaan di Aceh dilakukan oleh personel militer. Dalam berita-berita di koran, biasanya disebutkan oleh 'oknum' tentara. Menurut bu Nunuk, pemerkosaan ini sudah menjadi salah satu dari strategi perang. Jadi istilah oknumisasi ini tidak tepat karena dilakukan secara sistematis.
Aku kemudian merenungkan serangkaian kekerasan di Poso. Menurutku, bukan kebetulan kalau sebagian besar korbannya adalah perempuan. Ada yang dipenggal, ada pula yang ditembak. Lalu bagaimana dengan pengeboman di pasar? Bukankah sebagian besar pengunjung pasar adalah perempuan? Aku tidak bisa memastikan siapa yang menjadi pelaku kekerasan ini. Tapi paling tidak hal ini mengindikasikan satu hal: pelakunya adalah sekelompok orang yang masih berpikiran patriarkis. Tujuannya adalah untuk melestarikan kekuasaan.
Apa yang bisa dilakukan oleh gereja? Gereja berperan strategis sebagai agen perubahan. Dengan menggenggam setumpuk kepercayaan dari umat, gereja dapat menjadi pelopor di dalam upaya pengikisan budaya patriarkis ini. Hal ini tidak saja demi kepentingan pembelaan perempuan dan anak-anak, tetapi juga untuk kebaikan laki-laki juga.

Wawan

* Visit my personal homepage at:
http://www.Geocities.com/purnawankristanto
* Read my writings at:
http://purnawan-kristanto.blogspot.com

Komentar

Postingan Populer