Protes: Buku Jangan Diplastiki (2)

Ke dalam milis penulis, saya pernah memposting protes saya tentang buku-buku yang semakin banyak dibungkus dengan plastik. Akibatnya, saya tidak bisa membaca isi buku itu sebelum membelinya. Posting tersebut mendapat tanggapan dari Ang Tek Khun. Dia mengatakan kalo saya salah protes. Menurut pak Khun, harusnya saya protes ke toko, karena penerbit sudah menanggung retur buku rusak. Pertanyaan saya, bukankah pembungkusan buku tersebut dengan plastik itu dilakukan oleh penerbit? Artinya toko buku tidak memplastiki buku. Jadi saya tidak salah dong kalo protes ke penerbit! Lha kalo saya protes ke toko buku, bisa jadi jawaban dari toko buku begini: "Lha kami menerima buku dari penerbit ya sudah diplastiki begini, kok. Protes Anda salah alamat, Bung. Protes sono tuh sama penerbit!"

Sebagai besar konsumen tidak tahu mekanisme kerja antara penerbit dan toko buku. Yang mereka tahu adalah: buku itu dipastiki. Nah, dalam hukum Perlindungan Konsumen, pelaku usaha (penerbit sebagai produsen dan toko sebagai penyalur) memiliki kewajiban untuk menghormati hak-hak konsumen. Sebagai tambahan informasi, saya kutipkan hak-hak konsumen yang tercantum dalam UU Perlindungan Konsumen no. 8/tahun 1999

1. Hak mendapatkan kenyamanan, keselamatan dan keamanan;

2. Hak untuk memilih;

3. Hak mendapatkan informasi;

4. Hak untuk didengarkan pendapat dan keluhannya;

5. Hak mendapatkan advokasi;

6. Hak mendapat pendidikan;

7. Hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif;

8. Hak mendapatkan ganti rugi;

9. Hak yang diatur peraturan perundangan lain. Contohnya dalam UU Kesehatan, setiap pasien mempunyai hak: mendapat informasi, memberikan persetujuan medis, rahasia kedokteran dan mendapat opini kedua (second opinion).

Saya bukannya menakut-nakuti, tetapi pelanggaran atas UUPK ini diancam dengan sanksi administrasi, denda (200 juta sampai 2 milyar) dan kurungan penjara (2-5 tahun).

Ada baiknya, setiap penerbit yang membaca posting ini mulai mempelajari UUPK ini. Sebab dengan diberlakukannya UU ini, konsumen lebih mudah menggugat pelaku usaha. Dalam UU ini 3 terobosan hukum yang menarik untuk dicermati:

1. Selain melalui pengadilan, konsumen dapat menuntut hak-haknya melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Lembaga ini semacam badan arbitrase/wasit yang menjadi penengah di dalam sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Keputusannya bersifat final. Artinya tidak bisa dibanding. Menurut UU ini, BPSK akan didirikan di setiap Daerah Tingkat II (Kota/Kabupaten). Di kota Jogja dan Jakarta Pusat (kalo tidak salah) sudah ada BPSK.

2. Gugatan Kelompok (Class Action). Jika jumlah orang yang dirugikan sangat banyak (masif), maka sekelompok orang dapat mewakili seluruh korban untuk mengungat pelaku usaha. Sebagai misal, ada produk mie instan yang meracuni ribuan orang. Menurut UU ini, sekelompok orang dapat mengajukan gugatan kepada pembuat mie instan. Hasil dari persidangan itu nanti akan berlaku untuk seluruh korban. Misalnya jika Hakim menetapkan ganti rugi 5 juta perorang. Maka setiak korban, meskipun dia tidak ikutan menggugat, dia berhak mendapat ganti rugi. Mengingat buku juga dicetak secara massal, maka ada kemungkinan untuk terjadi gugatan kelompok terhadap penerbit. Jadi harap berhati-hati.

3. Sistem pembuktian terbalik. Kalau dalam sistem acara hukum perdata ada ketentuan: "yang menggugat wajib membuktikan kesalahan tergugat", maka dalam hukum Perlindungan Konsumen justru berlaku kebalikannya. Meskipun konsumen yang menggugat, tapi penggugat tidak berkewajiban membuktikan kesalahan pelaku usaha. Justru pihak tergugat, yang harus membuktikan bahwa pihaknya yang tidak bersalah.

Ketiga terobosan ini sebenarnya diadopsi dari hukum lingkungan hidup. Di luar negeri, terutama di Amerika, ketentuan ini sudah lazim diterapkan. Masih ingat film "Erin Bro?????" yang dibintangi Julia Roberts? Kira-kira seperti itulah contoh praktisnya.

Menurut saya,sih jalan keluarnya adalah memberi satu buku sampel untuk setiap toko buku. Soal kerugian yang ditanggung penerbit terhadap buku sampel, jawabannya mudah. Masukkan saja sebagai salah satu komponen ongkos produksi. Nanti akhirnya akan ditanggung oleh konsumen juga, to?

Purnawan Kristanto
-------------------------------------------
* Visit my personal homepage at:
http://www.Geocities.com/purnawankristanto
* Read my writings at:
http://purnawan-kristanto.blogspot.com

Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Komentar

Postingan Populer