Mas Mono: Kedua Lengannya Diamputasi

Catatan Harian

Mas Mono: Kedua Lengannya Diamputasi

Ketika mobil kami berbelok memasuki pelataran parkir YAKKUM (Yayasan Kesehatan Kristen untuk Umum)-Bethesda yang teduh, mas Mono sudah terlihat menunggu sambil duduk di bangku panjang. Bu Agus segera menyelesaikan pembayaran untuk pelatihan selama tiga hari di sana. Kurang dari setengah jam, mobil pun berjalan kembali.

"Gimana hasil pelatihan, mas?" tanya bu Agus dari kursi tengah.

"Baik, bu. Kemarin saya ikut tes psikologi. Kata pengawasnya, IQ saya rendah. Lalu saya jawab, 'jelas saja pak, lha wong otaknya ini sudah lama tidak pernah dipakai lagi'....he...he...he...." jawab mas Mono setengah bercanda.

"Lalu rencana selanjutnya apa?" lanjut bu Agus.

"Saya pingin menjadi agen koran. Saya 'kan sudah bisa naik sepeda."

"Di Yakkum, dilatih apa saja?"

"Saya diajari cara mencuci baju, menyetrika, pokoknya ketrampilan untuk mengurus diri sendiri."

Ah....mas Mono sudah menemukan kembali semangat hidupnya, demikian batinku. Aku melirik kedua lengan mas Mono yang sudah tidak punya telapak tangan lagi. Setiap lengan itu dibelah menjadi dua. Tujuannya supaya bisa difungsikan sebagai telapak tangan, walaupun tidak bisa berfusngsi secara normal. Belahan lengan yang sebelah dalam lebih kecil, berfungsi sebagai jempol, dan sebelah luar sebagai jari. Kedua jari buatan ini hanya bisa digunakan untuk menjepit sesuatu. Selama tiga hari di Yakkum, mas Mono dilatih melakukan tugas-tugas untuk mengurus diri sendiri.

Aku melayangkan pandangan ke kabel-kabel listrik tegangan tinggi yang membentang di antara hamparan sawah di kaki gunung Merapi. Anganku melayang, membayangkan lagi cerita isteriku, tentang kisah hidup mas Mono.

Mas Mono dilahirkan di daerah pedesaan. Umurnya sekitar 30 tahunan. Tubuhnya kerempeng, tapi ototnya berisi karena ditempa oleh pekerjaan-pekerjaan fisik di pedesaan. Kulitnya legam, karena sering tersengat sinar matahari. Bentuk wajahnya agak tirus dengan rambut kemerah-merahan kasar, dipotong pendek.

Layaknya pemuda lain di desanya, mas Mono ingin mengejar mimpi hidup sukses. Beberapa kota di Jawa dan Bali telah dijelajahinya. Hingga suatu ketika ia mendapat pekerjaan di kota Jogja. Hanya berjarak 20 km dari desa kelahirannya. Dia mendapat pekerjaan sebagai tukang las, di perusahaan yang dimiliki pengusaha Taiwan dan Australia. Bersama satu temannya, dia mendapat tugas mengelas potongan-potongan besi menggunakan tenaga listrik.

Akan tetapi naas tak dapat ditolak. Temannya ini melakukan kelalaian dengan menyenggol sebuah batangan besi sehingga menyebabkan kecelakaan kerja! Kabel listrik berkekuatan tinggi itu menggeliat dan menyeterum mas Mono dan kedua tangannya. Akibatnya keduanya mengalami luka-luka bakar tingkat tinggi. Teman kerjanya harus rela salah satu tangannya diamputasi. Derita yang ditanggung mas Mono, lebih parah lagi. Dokter terpaksa memotong kedua tangan mas Mono, di batas pergelangan tangannya. Bagian tubuh lainnya juga mengalami luka bakar. Bahkan salah satu telapak kakinya juga ikut cacat, sehingga mas Mono berjalan dengan terpincang-pincang.

Impian kesuksesan itu pupus sudah. Mas Mono harus menanggung kecacatan tubuh yang permanen. Pihak perusahaan terpaksa merumahkannya, karena dia dianggap tidak mampu bekerja lagi. Meski begitu, perusahaan tetap menggaji mas Mono, setiap bulannya. Selain itu, perusahaan juga berjanji akan memberikan bantuan modal kerja. Akan tetapi janji tinggal janji. Ketika mas Mono menagih modal kerja ini, ternyata perusahaan ini telah tutup dan pemiliknya sudah kabur.

Sedih, bingung, putus asa, marah, ingin berontak. Perasaan-perasaan itu berkecamuk dalam diri mas Mono. Hampir selama setahun mas Mono dirundung dalam duka yang mendalam. Dia belum bisa menerima kenyataan ini. Setiap kali mendapat perkunjungan dari anggota gereja, mas Mono lebih suka mengurung diri di dalam kamar. Batinnya masih terlalu malu menunjukkan kondisi tubuhnya. Pada malam-malam tertentu, mas Mono keluar rumah. Dia tidur di kuburan desanya!

Hingga suatu ketika, mas Mono menghilang. Dia pergi tanpa memberitahu keluarganya. Tentu saja keluarganya kebingungan mencarinya. Dua minggu kemudian, dia muncul lagi dengan wajah cengengesan. "Kemana saja kamu selama ini?" tanya mbaknya. "Ke Bali, mbak," jawab mas Mono santai.

Entah mengapa, sejak saat itu mas Mono mulai menunjukkan perubahan hidup. Dia mulai belajar naik sepeda. Sebenarnya dia sudah bisa mengendarai sepeda, namun dengan tubuh yang lengkap. Sekarang dengan lengan yang buntung dan kaki yang cacat seperti itu, tentu dia harus menyesuaikan diri lagi.

"Apakah selama naik sepeda pernah jatuh?" tanya Eko, sopir gereja.

"Wah, berkali-kali, mas. Dan itu sakit. Namun rasa sakitnya tidak seberapa dibandingkan rasa sakit ketika kecelakaan dulu," jawab mas Mono.

"Kebangkitan" mas Mono ini tidak lepas dari kesabaran keluarganya. Selama setahun mereka merawat mas Mono dengan penuh kasih. Selama setahun mas Mono menjalani masa 'penolakan' diri. Inilah masa-masa yang berat bagi keluarganya. Mereka harus tetap menghibur dan memahami perilaku-perilaku mas Mono yang agak aneh itu.

Semangat hidupnya telah tumbuh kembali. Sekarang dia punya keinginan untuk membeli traktor. Dia punya rencana akan menyewakan mesin pertanian itu pada petani-petani di desanya. Sayangnya dia belum punya modal untuk membeli mesin itu. Untuk itu, dia akan menabung dan menjadi agen koran dulu.

Klaten 27/02/2006 21:29:04

::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
http://www.Geocities.com/purnawankristanto
http://purnawan-kristanto.blogspot.com

Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Komentar

Postingan Populer