Power of Humour

"Orang yang pikirannya paling waras adalah orang yang bisa menertawakan diri sendiri." Ungkapan ini tidak salah, karena hanya orang yang berpikiran waras saja yang bisa memandang dirinya secara jernih. Dia melihat bisa kesalahan yang dilakukan di masa lampau, namun tidak terjebak dengan meratapinya. Dia bangkit untuk memperbaiki di masa depan dan menertawakan kekonyolan itu sebagai penyegar kembali suasana hatinya.
Saya pernah melakukan kesalahan yang memalukan. Suatu kali, saya dan Lily Halim mendapat tugas mewawancarai romo Alex Susilawijaya. Di antara kami, belum ada yang pernah melihat wajah romo Alex. Begitu sampai di asrama Realino, kami melihat ada seseorang yang memakai jubah rohaniwan. Tanpa menunda-nunda lagi kami langsung menyapa dan menyodorkan tape recorder. Kami siap melakukan wawancara. Tidak tahunya, ternyata orang itu bukan romo Alex! Dengan muka merah kami meminta maaf kepada beliau, dan segera berlalu untuk mencari romo Alex. Kami selalu tertawa geli, setiap setiap kali mengingat peristiwa konyol itu.
Demikian juga di gereja. Selama masih ada dunia ini, gereja belum bisa sempurna seratus persen. Gereja masih banyak mempunyai kekurangan dan melakukan kesalahan. Kita bisa bersungut-sungut, sepanjang hari mengeluhkan kekurangan gereja ini. Namun, kita juga bisa memakainya sebagai humor dan menertawakannya. Sebagai contoh, mungkin kita merasa jengkel melihat perilaku anggota jemaat ketika beribadah di gereja. Maka kita membuat daftar "Enam Hal yang Jarang Diucapkan Anggota Jemaat di Gereja":
"Asyik, sekarang giliranku duduk di barisan paling depan!"
"Saya begitu terpesona oleh khotbah itu sehingga tidak menyadari kalau sudah menyimak selama 40 menit."
"Sejujurnya, saya lebih menikmati bersaksi di gereja daripada pergi memancing."
"Mari kita naikkan gaji pendeta!"
"Saya menyukai lagu yang dibawakan paduan suara."
"Karena kita sudah berkumpul semua, mengapa kita tidak mulai ibadah ini lebih awal."

Kita menjadikan kekurangan itu sebagai humor, bukan untuk menghina atau merendahkan gereja, melainkan justru sebagai sarana refleksi dan koreksi tanpa harus sakit hati. Dengan begitu, diharapkan setelah membaca humor dalam buku ini, kita tidak hanya bisa tertawa saja, tapi juga bisa merenung untuk memperbaiki kehidupan kekristenan kita.
Di dalam Perjanjian Baru, sukacita merupakan karakteristik yang menjadi ciri utama kekristenan. Sukacita ini bersifat spontan, karena merupakan salah satu buah dari Roh. Rasa humor orang Kristen juga berakar pada sukacita ini. Meskipun, berada di tengah perjuangan hidup dan pergumulan batin, orang Kristen tidak kehilangan rasa humornya karena mereka memiliki perspektif kemenangan yang sudah diperoleh melalui Kristus. "Humor Kristen" mengkombinasikan antara kemerdekaan dan sukacita ini.

Komentar

Postingan Populer