Jurnal Gempa Klaten, 30 Mei 2006

Penjarahan mulai berkurang sejak diturunkannya aparat keamanan di sepanjang jalan antara Bendhogantungan hingga daerah bencana di wilayah kecamatan Wedi. Anggota tentara dari Kodim yang bermarkas di depan gereja juga menawarkan bantuan pengawalan apabila diperlukan. Namun hingga saat ini, kami belum memerlukan pengawalan karena kami memilih teknik kamuflase. Pada kaca depan mobil, kami tulisi "Relawan". Dengan demikian, kami tidak mendapat gangguan berarti.
Tim dari Gerakan Kemanusiaan Indonesia dari Sinode GKI di Jakarta juga sudah "turun" di Klaten. Sebelumnya, tim yang dipimpin oleh pak Yusan dan Matias ini berkunjung ke GKI Gejayan yang menjadi markas komando untuk penyaluran daerah gempa. Kedatangan tim yang sudah berpengalaman menangani gempa di Nias ini telah membantu pembenahan sistem penyaluran bahan bantuan yang telah dilakukan. Hingga saat ini, kami sudah membuka empat Posko:
Posko I: Dusun Sarap, desa Pesu, kecamatan Wedi. Berlokasi di bekas gedung gereja Bakal Jemaat Pesu.
Posko II: Di bekas gedung GKI Prambanan yang roboh.
Posko III: Di bekas gedung Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gantiwarno.
Posko IV: Di kecamatan Trucuk.

Bantuan masih mengalir, tetapi belum memenuhi kebutuhan di lapangan. Pada pagi hari, datang bantuan satu truk dari GRII Surabaya. Namun pada siang hari, bantuan tersebut sudah habis didistribusikan. Sementara itu, tim kesehatan dari Fakultas Kedokteran Ukrida sduah sampai di desa Pesu. Menurut rencana, kami akan membuka Rumah Sakit darurat di bekas reruntuhan gereja. Karena tenda belum berdiri dan puing-puing belum selesai dibersihkan, maka mereka untuk sementara beroperasi di tenda dapur umum. Beberapa hari mendatang, akan datang juga tim medis dari RS Bethesda, Jogja dan dari negara Hongaria. Sedangkan rombongan dari Universitas Udayana masih menunggu konfirmasi.
Rumah sakit darurat ini akan bisa merawat pasien-pasien dari penyakit ringan hingga penyakit yang memerlukan penanganan operasi minor. Menurut dokter dari Ukrida, kebanyakan keluhan gangguan kesehatan yang dialami penduduk adalah luka-luka dan memar akibat tertimpa reruntuhan. Selain itu juga gangguan kesehatan yang umum ditemui seperti tekanan darah tinggi, pusing, masuk angin dll. Yang perlu diwaspadai ke depan adalah penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), karena sisa reruntuhan sudah mulai menimbulkan debu. Ini perlu juga diperhatikan oleh relawan.
Ada satu peristiwa yang cukup mengharukan. Pukul 10 pagi, relawan yang ada di GKI Klaten mendapat informasi dari lapangan bahwa ada bayi berumur 8 hari yang ditinggal mati oleh ibunya. Pada saat gempa terjadi, keluarga ini tertimpa rumah yang roboh. Sang Ibu meninggal di lokasi. Sedangkan Suaminya mengalami luka-luka pada pinggangnya. Yang sungguh ajaib adalah nasib bayi ini. Dia sempat ikut terkubur dalam reruntuhan. Namun ketika sang Nenek mengais-ngais puing-puing, ternyata bayi yang ketika gempa terjadi masih berumur 5 hari itu SELAMAT! Padahal seluruh tubuhnya sudah tertutup oleh debu-debu.
Begitu mendengar kabar itu, Ibu Budi Kusnan dan Ibu Kristin segera meluncur ke lokasi. Pada mulanya sang Ayah dari bayi enggan untuk membawa bayinya ke Rumah Sakit. [Kemungkinan dia trauma pada RS karena hari sebelumnya dia sempat dilarikan ke RS Kustati Solo (khusus tulang), tetapi disuruh pulang karena tidak mampu membayar]. Akan tetapi setelah dibujuk-bujuk, akhirnya dia bersedia membawa bayinya ke RS. Selama perjalanan ke RS (sekitar 10 km), bayi ini tidak menangis sama sekali.
Ketika melewati desa Tegalngawen, saya mulai mencium bau busuk. Entah itu dari bau binatang, tapi bisa juga dari korban manusia yang belum sempat dievakuasi. Hal yang sama dialami oleh relawan lain, koh Yoyok, di tempat lain. Jika memang masih ada jenazah yang belum ditemukan, maka hal ini akan menimbulkan masalah kesehatan yang serius.
Di antara kepedulian dari sesama anak bangsa yang patut diacungi jempol, ada juga perilaku para pemberi bantuan yang menyebalkan. Kami menyebutnya "wisatawan bencana". Mereka telah menjadikan daerah bencana sebagai sarana rekreasi. Bantuan yang diberikan disertai dengan rombongan yang datang beramai-ramai. Sesampai di lokasi, setelah menyerahkan bantuan, mereka berfoto-foto dengan riangnya. Perilaku ini justru tidak menunjukkan empati kepada korban bencana. Selain itu kendaraan yang dibawa oleh para "wisatawan" ini juga memacetkan jalan utama yang dilalui oleh mobil ambulans, pembawa bantuan dan kendaraan relawan. Dalam perjalanan pulang, mobil yang saya tumpangi hanya bisa merayap dengan kecepatan di bawah 20 km/jam. Padahal dalam kondisi biasa, dapat mencapai kecepatan 40 km/jam.
Selain itu, mengantarkan bantuan secara beramai-ramai ini kadangkala malah merepotkan penerima bantuan. Sebagai contoh, ada pemberi bantuan yang 'ngotot' harus membagikan bantuan secara langsung ke para korban. Situasi di lapangan hal ini tidak efesien karena bantuan tersebut harus dipilah dan disistribusikan sesuai kebutuhan. Misalnya saja, desa ini hanya butuh beras. Semantara desa itu, yang jaraknya cukup jauh hanya membutuhkan selimut. Jika menuruti keinginan mereka, tentu saja sangat merepotkan pengelola posko. Setelah adu argumentasi, akhirnya dicapai jalan tengah. Bantuan diturunkan di Posko Utama, kemudian rombongan ini diantar untuk "meninjau" lokasi.
Demikian jurnal untuk hari ini. Jika Anda tergerak untuk memberikan sumbangan, Anda dapat menghubungi Posko Gerakan Kemanusiaan Indonesia yang berpusat di GKI Klaten, dengan alamat Jl. Pemuda 195, Klaten Jawatengah. Telepon 0272-321187. Untuk saat ini bantuan justru diharapkan dalam bentuk barang. Mengapa begitu? Karena persediaan barang-barang di Klaten mulai menipis. Sebagai contoh, kami kesulitan mencari tenda. Kami terpaksa mencarinya di Solo atau Semarang. Adapun kebutuhan Posko saat ini adalah:
* Tenda Terpal (jumlah ratusan)
* Sembako (beras, mie instan)
* Sandal
* Senter, Lampu badai, petromaks
* Obat-obatan
* Air mineral
Jika ada yang membutuhkan informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi saya di 08122731237 atau 0272-327776 (malam)

Komentar

Postingan Populer