Mengapa Ada Penderitaan?

Jika Tuhan itu baik dan berkuasa, mengapa hal jahat masih saja terjadi? Mengapa Tuhan mengijinkan penderitaan terjadi pada Ayub, hambanya yang setia? Mengapa Tuhan membiarkan pembunuhan bayi-bayi "tak berdosa" di Betlehem?" Mengapa orang-orang harus binasa diterjang gelombang Tsunami? Mengapa banyak harus mati karena wabah flu burung? Apakah Tuhan tidak kuasa mencegah niat jahat para teroris?

Pertanyaan-pertanyaan ini dalam ilmu agama dikenal sebagai teodisi: Bagaimana mungkin penderitaaan dan hal jahat bisa terjadi di alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan yang Mahakuasa dan Mahapenyayang? Melihat banyaknya musibah yang kita alami, mungkin kita akan mengamini nyanyian Ebiet G. Ade,"Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa."

Benarkah musibah terjadi semata-mata karena dosa manusia?

Beberapa penderitaan memang ada yang berhubungan langsung dengan dosa. Apa yang kita tanam, itu pula yang akan kita tuai. Allah menghukum Hofni dan Pinheas, Daud, Ananias dan Safira karena melakukan perbuatan dosa. Akan tetapi Yesus juga pernah menolak generalisasi dosa sebagai kedok dari biang penderitaan. Dalam Yoh. 9 dan Luk.13, Yesus mengingatkan murid-murid-Nya supaya tidak seenaknya menuduh dosa sebagai pangkal dari penderitaan.

Musibah dapat dibagi menjadi dua sebab yaitu karena kejahatan moral dan peristiwa natural. Dalam Lukas 13, kita membaca perbuatan Pilatus yang membunuh orang Galilea dan mencampurkan darah mereka dengan darah korban yang akan dipersembahkan pada dewa-dewa. Ini adalah kejahatan moral. Hal yang sama juga berlaku pada serangkaian pengeboman di tanah air. Semua ini adalah kejahatan yang direncanakan oleh manusia. Di sini kita patut berseru perlunya pertobatan.

Sedangkan pada musibah karena peristiwa alam, kita perlu mengusut pangkal sebab dari gejala alam itu: apakah bencana alam itu terjadi karena kebodohan dan keserakahan manusia? Misal, luapan lumpur panas di Sidoarjo patut diduga terjadi karena pelaksana pengeboran sengaja mengabaikan prosedur yang benar. Namun ada juga bencana alam yang tidak berkaitan langsung dengan perbuatan manusia. Gempa bumi dan gunung meletus terjadi karena pergeseran lempeng bumi.

Lalu bagaimana kita menyikapi berbagai penderitaan yang kita alami? Kita tetap meyakini bahwa Tuhan itu Mahakuasa atas alam semesta ini. Tidak satu molekul pun di alam semesta ini berada di luar wilayah kekuasaan Tuhan. Tuhan itu juga Mahatahu. Tak seekor burung pun yang jatuh tanpa sepengetahuan Tuhan. Bahkan Tuhan pun tahu jumlah rambut kita.

Raja Nebukadnezar mengakui hal ini, "Allah akan menjadi raja untuk selamanya. Ia berkuasa sepanjang masa. Bangsa-bangsa di dunia tidak berarti. Allah menguasai malaikat di surga dan penduduk bumi. Tak seorang pun dapat melawan kehendak-Nya, tak ada yang berani menanyakan apa yang dilakukan-Nya" (Dan. 4:34-35 BIS). Tidak ada yang berani mempertanyakan kehendak Allah.

Pikiran manusia tidak mampu menyelami maksud Allah di balik berbagai musibah. Namun sebagai orang percaya, kita perlu selalu meyakini bahwa Allah berdaulat atas alam semesta ini. Semua hal yang terjadi itu masih dalam kerangka untuk kebaikan kita, yaitu orang "yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah" (Rom.8:28). Charles Spurgeon berkata, "ketika kita tidak mampu memahami karya tangan Tuhan, kita cukup percaya pada hati-Nya."

* * * *

Sebagian dari renungan dalam buku ini ditulis semasa saya menjadi relawan Gerakan Kemanusiaan Indonesia di Klaten. Posko kemanusiaan membantu korban gempa bumi, tanggal 27 Mei 2006 lalu. Pengalaman-pengalaman yang menakjubkan itu selanjutnya saya refleksikan dalam bentuk tulisan-tulisan yang dimuat dalam terbitan berkala "Blessing". Untuk melengkapinya, saya juga menyeleksi koleksi renungan saya yang pernah dimuat di "Renungan Malam."

Meski dengan topik yang berbeda-beda, renungan-renungan dalam buku ini memiliki satu benang merah, yaitu memberikan penguatan, penghiburan dan pengharapan dalam menghadapi penderitaan.

Saya berharap, Anda tidak sekadar ikut menumpang membaca, tapi juga membeli buku ini karena semua royalti dari penjualan buku ini akan diserahkan untuk membantu gereja-gereja di Klaten yang menjadi korban gempa bumi. Data kerusakan gereja yang saya kumpulkan, ada 4 gereja roboh, 13 gereja rusak berat dan 21 gereja rusak ringan.

Berkat lainnya yang saya dapatkan ketika menjadi relawan adalah sikap hidup positif dari penyintas (orang yang selamat dari sebuah musibah) dan sesama relawan. Mereka menyiasati tragedi ini dengan humor. Dengan begitu, beban penderitaan kami terasa lebih ringan. Untuk itu, pada bagian akhir buku ini saya ingin membagikan koleksi humor yang saya kumpulkan selama saya menjadi relawan posko kemanusiaan.

Purnawan

[Tulisan ini adalah kutipan kata pengantar dalam buku "Tuhan Yesus tidak Tidur", terbitan PBMR Andi, 2007]

 

Komentar

Postingan Populer