Sedan Hijauku Hilang (Cerpen Natal)
Memandang keluar  dari jendela bis, aku melihat banyak perubahan yang terjadi di kampung  halamanku. Aku menyaksikan banyak yang sudah berubah sejak aku meninggalkan  kabupaten Gunungkidul sejak dua puluh tahun yang lalu. Jalannya masih  berliku-liku, namun sudah mulus dengan aspal hotmix. Angkutan umum dari  Jogja ke Wonosari juga sudah banyak. Kata sopir yang kutumpangi, setiap 3 menit  sekali ada bis yang berangkat dari terminal.
Dulu, jumlah kendaran  umum masih sedikit. Meski seluruh kursi sudah terisi penuh, sopir belum juga  menjalankan kendaraannya. Dia masih akan menjejalkan penumpang sehingga deretan  kursi untuk empat orang, harus diisi lima penumpang. Itu saja masih ditambah  bangku kecil yang disebut dingklik yang diletakkan di dekat pintu  samping. Penumpang yang tidak mendapat tempat duduk harus bergelayutan di pintu  mobil atau duduk di atap mobil.
Mobil berjalan  terseok-seok meninggalkan jejak asap dan debu. Perjalanan menyelusuri punggung  bukit kapur itu sungguh menyiksa. Kami   melewati jalan-jalan yang berkelok-kelok dengan tanjakan yang curam.  Setiap kali mobil merayapi tanjakan, kenek selalu memegang balok kayu seukuran  paha manusia. Sewaktu-waktu mobil tidak kuat menanjak, dengan sigap dia melompat  turun dan menyorongkan balok itu di belakang ban supaya mobil tidak melorot.  Setelah itu, sebagian penumpang harus turun supaya beban menjadi ringan. Mereka  harus berjalan kaki hingga puncak tanjakan.
Aku lebih suka duduk di  atap kendaraan. Meski sedikit berbahaya, tapi di tempat ini bisa menghirup udara  segar. Kalau duduk di dalam, mulutku menjadi mual-mual karena menghirup hawa  panas bercampur keringat penumpang. Itu saja masih ditingkahi bau minyak angin  yang dioles-oleskan penumpang untuk mencegah mabuk. Apalagi kalau pas hari  pasaran. Aroma belanjaan seperti ikan asin, bawang dan terasi semakin menambah  pengap.
Aku menyandarkan kepalaku  di sandaran jok dan mencoba memejamkan mata. Tiba-tiba wajahku terpercik air.  Rupanya tetesan air hujan memercik lewat jendela bis yang sengaja kubuka.  Hmmm.... aku senang mencium bau tanah  kering yang tersiram air hujan. Warga desa kami selalu menyambut hujan dengan  sukacita, karena itu berarti kami mulai bisa menanami ladang. Kami juga tidak  lagi harus meminum air telaga yang kecoklaktan. Pada musim kemarau, belik  dan sumur menjadi kering. Satu-satunya sumber air yang tersisa adalah telaga  di pinggiri desa yang bersama-sama dipakai untuk mandi, mencuci baju, dan  memandikan sapi. Entah mengapa, kami jarang sakit meskipun mengkonsumsi air yang  tidak hiegenis itu. Mungkin ini karunia Tuhan.
Hujan mengingatkan aku  pada perayaan Natal di desaku. Tidak ada perayaan Natal tanpa guyuran hujan.  Dulu, aku biasa berpayung daun pisang ketika berangkat ke perayaan Natal. Sepatu  kubungkus plastik, lalu aku berlari menerabas jalan berlumpur dengan  bertelanjang kaki. Sampai di balai desa, barulah aku mencuci kaki dan memakai  sepatu.
Sehari sebelumnya,  seluruh jemaat mulai dari anak-anak sudah sibuk menyiapkan perayaan itu.  Anak-anak datang ke balai desa sambil membawa kayu bakar dan gulungan daun  pisang yang sudah dilepaskan dari batangnya. Kayu bakar dipakai untuk  memasak.Daun pisang digunakan untuk membungkus nasi. Kaum pria sibuk menyiapkan  panggung dan menata kursi. Beberapa pemuda menebang pucuk pohon cemara di hutan  pinggrian desa dan menghiasinya. Ibu-ibu menanak nasi dan menyiapkan lauk-pauk.  Setelah matang, nasi dan lauk dibungkus dengan daun pisang. Kedua ujungnya  dilipat dan ditusuk dengan batang lidi sehingga secara sepintas seperti mobil  sedan. Iti sebabnya sambil bergurau kami sering menjulukinya "sedan hijau". Nasi  panas yang menyentuh daun pisang itu menimbulkan aroma masakan khas. Beda sekali  jika nasi itu dibungkus dengan kertas minyak atau piring.  
Natal yang sederhana,  namun kami merasakan kehangatan kebersamaan sejak menyiapkan perayaan itu.  Begitu memasuki bulan Desember, anak-anak Sekolah Minggu mulai giat menghapalkan  ayat yang akan dipertunjukkan pada tamu undangan. Aku paling senang melatih  drama anak-anak, memakai naskah buatanku sendiri.  Karena berbagai keterbatasan di desa  saya memanfaatkan korden jendela dan sprei sebagai jubah pemeran orang-orang di  tanah Palestina.
Sudah dua puluh tahun aku  tidak merayakan Natal di desa.Seperti apakah Natal di desaku? Semoga saja masih  seperti dulu. Bis berhenti di simpang tiga Mbranang. Aku turun di  sini.
"Selamat datang, Mas,"  sambut Titus yang menjemputku dengan sepeda motor. Wah, anak ini sudah menjadi  pemuda, batinku. Dia pernah menjadi murid Sekolah Mingguku. Waktu kecil,  badannya kurus. Perutnya buncit karena cacingan. Hidungnya sering beringus. Tapi  sekarang sudah menjadi pemuda yang berbadan tegap. 
"Perayaan Natal nanti  malam dimulai jam berapa?" tanyaku sambil melangkah di boncengan sepeda  motor.
"Jam tujuh, di gedung  gereja, Mas" jawab Titus.
"Lho, biasanya di Balai  Desa, to?"
"Sekarang sudah lain,  Mas?"
"Lain bagaimana  maksudnya?".
"Sudah tiga tahun ini  kami tidak boleh Natalan di Balai Desa?"
"Lho, mengapa begitu"  tanyaku heran.
"Entahlah," jawab  Titus,"Katanya sih ada peraturan kalau Balai Desa tidak boleh dipakai untuk  kegiatan keagamaan."
"Alasanya  apa?"
"Kata pak Lurah, ini  untuk menjaga kerukunan antar umat beragama."
Aku tercenung sesaat.  Lho, apa hubungannya penggunaan balai desa dengan kerukunan? Bukankah selama ini  semaunya baik-baik saja? Sama seperti Lebaran, perayaan Natal sudah menjadi hari  besar yang dirayakan seluruh warga desaku. Setiap kali perayaan Natal, hampir  seluruh warga desa berbondong-bondong Balai Desa untuk melihat pertunjukkan  hiburan. Maklumlah, di desa tidak banyak hiburan. Tapi aku diberitahu Titus  kalau tradisi itu sudah menghilang. Perayaan keagamaan di desaku kini hanya  menjadi milik umat agama itu saja. 
Sampai di rumah,  berbaring sejenak untuk melepas penat. Tidak banyak yang berubah di kamarku.  Poster Gabriel Batistuta, pemain bola yang kukagumi,  masih terpampang di pintu lemari. Kain  tirai jendela kamar juga tidak berganti. Warnanya sudah memudar, tapi bersih dan  harum. Kasurnya terasa empuk. Pasti baru saja dijemur.  
Menjelang petang, aku  mandi. Sekarang aku tidak perlu lagi mandi di telaga karena orangtua sudah  berlangganan air PAM. Airnya cukup jernih karena diambil dari sungai bawah  tanah. Aku sudah tak sabar untuk segera pergi ke gereja. Hujan sudah turun sejak  pukul tiga sore. Kami sekeluarga berangkat bersama-sama, menyusuri jalan desa  yang sudah dikonblok.. 
Aha itu dia si Aris!  "Selamat hari Natal. Sekarang kerja dimana?"  sapaku.
Aris mengeluarkan kartu  namanya. Rupanya dia menjadi Webmaster sebuah situs berita. Aku masih ingat,  dulu pakaiannya selalu kusut. Kamarnya berantakan.Buku-buku berserakan di  lantai. Berbagai komponen elektronik tersebar di berbagai tempat Orang ini  memang jenius. Mungkin itulah sebabnya dia tidak sempat mengurus diri. Tapi  penampilannya sekarang cukup rapi. Rambutnya masih panjang, tetapi diikat rapi  di belakang.
Nah, itu Wahyudi, si  pedagang kain di pasar Tanah Abang. Waktu kecil, dia jago main ketapel. Kami  suka berburu tupai di kebun kelapa milik mbah Kromosentono. Itu ada Suwardi,  yang waktu kecil suka mencari belalang kayu untuk tambahan lauk.. Wah, sekarang  dia menjabat Dirjen di Departeman Keuangan. Wah, sudah sukses anak ini. Hey,  bukankah itu Yuli., si ibu Bidan? Dulu, teman- teman sering menjodoh-jodohkan  aku dengan gadis hitam manis ini.
Aku senang teman-temanku  sudah sukses. Mereka pulang kampung dengan mengendarai. Tak lupa, mereka  menggenggam Handphone model terbaru. Ada yang dilengkapi kamera digital. Ada  pula yang berbentuk PDA. Selama acara berlangsung, HP mereka tak henti-henti  berbunyi. Mereka terlihat sibuk membalas SMS. Mungkin itu ucapan selamat Natal  dari relasi mereka.
Aku memilih duduk di  pojok belakang. Acara sambutan-sambutan itu membuatku tersisa. Dari sejak aku  kecil sampai kini isi sambutan ya hanya itu-itu saja. Orang yang memberi  sambutan pun hanya orang itu-itu juga. Mengapa sih tidak dihilangkan saja?  
"Wah tidak bisa, Wan"  kata Ayahku saat aku mengusulkan agar sambutan itu dikurangi saja. "Itu adalah  bagian tradisi dan penghormatan kita kepada orang yang dituakan."  
"Tradisi 'kan bisa  diubah. Lha wong Undang-undang Dasar saja sekarang bisa diubah kok,"  batinku sambil ngedumel.
Nah ini dia, waktunya  makan. Aku sudah mengidamkan "sedan hijau" itu. Sudah lama aku tidak menikmati  nasi merah, sayur lombok, sambel kering, plus telur ayam kampung yang dibungkus  daun pisang. Aku menelan air ludah. Tapi,.... lho yang dibagikan kok bungkusan  sterofoam? Mana bungkusan "sedan hijau itu? Dengan ogah-ogahan aku  membuka tutup sterofoam itu. Isinya nasi dan ayam goreng tepung dari  sebuah restoran siap saji dari Amerika. Hmm...globalisasi sudah merembes sampai  di Gunungkidul, bantinku. 
"Lho mana sedan  hijaunya?" bisikku pada Titus.
"Sekarang sudah diganti,  Mas. Jemaat sekarang sudah ogah direpoti urusan menyiapkan makanan," jawab Titus  sambil membuka kotak stereofoam. Minumnya juga sudah diganti. Tidak lagi  segelas teh melati, tapi air putih dalam kemasan gelas plastik  
"Dengan memesan makanan  begini, 'kan lebih praktis dan lebih bergengsi," lanjut Titus sambil melahap  makanan. Aku menyisihkan bungkusan itu. Tiba-tiba, aku kehilangan selera  makanan, padahal sejak siang tadi sengaja kukosongkan perutku demi sedan  hijau itu.
"Tapi mengapa tidak  memesan makanan yang khas di sini saja?" tanyaku  kecewa.
"Kami sudah bosan dengan  menu yang itu-itu saja. Lagi pula ini sumbangan dari mas Joko Susilo. Itu  lho, teman Mas yang menjadi akuntan publik,"terang Titus dengan mulut  penuh. Dia lalu mengatakan bahwa jemaat tidak lagi dipungut iuran untuk biaya  Natal ini. Semua biaya sudah disumbang oleh teman-temanku yang sudah sukses  itu.  Ada yang menyumbang makanan.  Ada yang menanggung dekorasi dan video. Ada yang membayari penari profesional.  Ada juga yang nanggap grup lawak untuk acara hiburan.  
"Pantas ada banyak  umbul-umbul dan spanduk perusahaan di depan gereja. Jadi, mereka mensponsori  perayaan Natal ini, to?" tanyaku kaget.
Titus mengangguk bangga.  Aku terdiam.
 Teman-temanku membanggakan keberhasilan  mereka. Lalu apa yang bisa kubanggakan? Seorang penulis lepas sepertiku, jelas  tidak punya logo perusahaan untuk kupasang di spanduk di depan gereja. Aha!  Sebaiknya kutulis saja ceritaku ini, lalu kukirimkan ke koran. Semoga Natal  tahun depan aku bisa memfotokopi cerpenku yang sudah dimuat dan menunjukkan  pada  orang-orang di  desaku.
Gunungkidul, Desember  2004

Komentar