Nasi bungkus diminta lagi
Minggu siang (30 Des), pdt. Surya menelepon bahwa mereka membutuhkan nasi bungkus lagi. Sore hari sebelumnya, mereka menyatakan bahwa penyaluran bantuan nasi bungkus sudah dihentikan karena air telah surut dan pengungsi sudah pulang ke rumah masing-masing. Padahal kami sudah terlanjur mengerahkan jemaat untuk memasak. Daripada mubazir, maka hari Minggu sore kami akan membagikan nasi bungkus itu dari rumah ke rumah. Untuk itu, kami mendapat tenaga bantuan dari GSM (Guru Sekolah Minggu).
Tiba-tiba saya teringat salah satu prinsip relawan kemanusiaan: "Dalam situasi yang tidak normal, jangan berpikir normal." Situasi di wilayah bencana dapat berubah dengan cepat. Untuk itu harus ditanggapi dengan cepat. Kadang harus melanggar prosedur yang ditetapkan sendiri. Namun ada beberapa orang yang tidak paham prinsip ini. Ketika kami memutuskan untuk memobilisasi bantuan dari jemaat, ada salah satu jemaat yang mengingatkan bahwa "harus ada koordinasi" dulu dengan pihak-pihak yang berwenang di gereja. "Kalau harus menunggu rapat-rapat, korban keburu meninggal,"kata saya,"yang penting sekarang kita bergerak dulu dan bantuan dapat dipertanggungjwabkan."
Karena diminta lagi, maka nasi bungkus yang sedianya akan dibagikan langsung, kami kirimkan lagi ke gereja di Sangkrah. Yang menjadi masalah, saya sudah berjanji kepada salah satu Tempat Pembinaan Jemaat(TPJ) di Dadapsari untuk memberikan nasi bungkus. Sebegai gantinya kami menawarkan mie instant, beras, selimut, air minum kemasan dan pakaian pantas pakai. Mereka menerimanya.
Karena diminta lagi, maka nasi bungkus yang sedianya akan dibagikan langsung, kami kirimkan lagi ke gereja di Sangkrah. Yang menjadi masalah, saya sudah berjanji kepada salah satu Tempat Pembinaan Jemaat(TPJ) di Dadapsari untuk memberikan nasi bungkus. Sebegai gantinya kami menawarkan mie instant, beras, selimut, air minum kemasan dan pakaian pantas pakai. Mereka menerimanya.
Saat menurunkan nasi bungkus di Sangkrah, para jemaat sedang beribadah. Supaya tidak mengganggu ibadah, kami buru-buru meluncur ke Dadapsari, sebuah perkampungan padat di pinggir aliran sungai. Karena tempatnya lebih rendah (daerah ledhok) maka pada banjir besar Minggu lalu, wilayah ini tergenang sampai sebatas kepala. Bantuan langsung diturunkan di TPJ. Warga menyambutnya dengan antusias. Berkali-kali mereka mengucapkan "Terimakasih" dan "Puji Tuhan." Menurut informasi teman, bantuan tersebut segera dibagikan dan dimasak.
Dalam perjalanan pulang, saya merenung. Kampung Dadapsari itu berada di belakang sebuah pusat perbelanjaan. Saya bertanya dalam hati, apakah pusat perbelanjaan itu telah memberikan bantuan kepada lingkungan di sekitarnya? Secara ekonomi, sebenarnya kota Solo memiliki kemampuan yang kuat untuk menolong diri sendiri. Namun saya menaangkap kesan bahwa pusat-pusat ekonomi di kota bengawan belum menunjukkan adanya sense of disaster. Aktivitas pusat-pusat perbelanjaan masih ramai. Business as usual.
Sesungguhnya pemerintah kota Solo dapat mengerahkan bantuan dari perusahaan dan bisnis perdagangan sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility mereka. Saatnya bagi pelaku-pelaku bisnis untuk menjalankan salah satu pinsip etika bisnis yaitu kepedulian sosial. Untuk jangka panjang, sesungguhnya ini untuk keuntungan korporasi mereka juga. Dalam istilah rohaninya, "Tabur-tuai".
Senin, jam 9, pdt.Yanoe memberitahu bahwa air naik lagi di Solo. Warga mengungsi lagi. Mereka meminta tambahan bantuan nasi bungkus.
Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]
]
Komentar