Obituari: Mas Narko

Pukul 06.30, telepon berdering. "Mas Narko wis ora ono." Terdengar suara adik iparku di ujung telepon. Deeg! Begitu cepat penyakit itu menggerogoti tubuhnya. Hanya kurang dari 3 bulan, kondisi tubuh mas Tri Wijanarko mengalami kemorosotan drastis.
"Mas Narko, mas Narko . . . kau luput dari sapuan gelompang Tsunami, tapi tak bisa mengelak paparan penyakit," batinku sambil memacu sepeda motor untuk melayat. Aku teringat sekitar setahun yang lalu, tepatnya bulan Desember. Tiba-tiba datang ke rumahku dengan wajah memerah. "Temanku tersapu gelombang Tsunami," katanya lirih.
"Bagaimana ceritanya?" tanya aku dan Tanto, adik iparku.
"Semestinya aku yang berangkat ke Aceh!" katanya.
" Lho kok bisa," tanyaku semakin tak mengerti.
"Begini lho ceritanya," katanya sambil menyalakan rokoknya. Aku menyorongkan asbak kepadanya. Kalau sudah mulai bercerita sambil menyalakan rokok, dia bisa habis berbatang-batang. "Beberapa minggu lalu, Jaringan Radio Komunitas mengadakan pertemuan di Bandung. Dalam pertemuan itu diputuskan untuk mendirikan Radio Komunitas di Aceh. Aku yang ditunjuk untuk berangkat ke sana. Tiba-tba salah satu temanku mendekati aku. Dia ingin menggantikan aku yang berangkat ke Aceh. Alasannya, isterinya hamil tua. Dia butuh uang untuk biaya persalinan."
"Berarti dia langsung menggantikan Sampeyan?" aku menyela ceritanya.
"Aku setuju. Tapi rupanya ada peserta pertemuan yang tidak setuju penggantian itu. Akhirnya diputuskan dengan membuang undi. Uang logam seratusan dilempar. Dia yang menang. Singkat cerita, dia berangkat ke Aceh. Dua hari setelah dia sampai di Aceh, Tsunami menerjang Aceh!"
"Berarti Sampeyan beruntung!" kata Tanto
"Entahlah, apakah ini disebut beruntung atau tidak. Kalau disebut beruntung, mengapa aku yang diluputkan dari bencana itu? Apa kelebihanku dibandingkan temanku itu?" tanya mas Narko dengan suara bergetar.
"Entahlah, tapi Tuhan pasti menyimpan rencana lain," jawabku.
Sebulan kemudian, mas Narko memutuskan untuk pergi ke Aceh untuk meneruskan rencana mendirikan Radio Komunitas. Stasiun radio yang hanya sederhana ini ternyata memberi sumbangan besar dalam penanganan bencana Paska Tsunami. Dengan ketiadaan pasokan listrik, maka pesawat televisi tidak dapat dinyalakan. Pada situasi ini, pesawat radio penerima yang dinyalakan dengan tenaga baterai mampu menyampaikan informasi-informasi penting secara masif dan cepat. Selain itu, siaran radio juga menjadi sumber penghiburan bagi para pngungsi.
Sepulang dari Aceh, setumpuk cerita diboyong mas Narko. Mulai dari cerita menelusup ke markas GAM sampai pengalaman melindas mayat-mayat dengan sepeda motor yang bergelimpangan di pinggir jalan.
Pengalaman bergaul dengan mas Narko adalah pengalaman bekerja keras. Tanpa mengenal waktu, dia sekuat tenaga membangun Radio Komunitas Wiladeg supaya dapat mandiri secara keuangan maupun dari sisi content-nya. Kini, setelah tiga tahun, siaran radio yang dipancarkan dari balai desa itu bisa siaran rutin dari pukul enam pagi sampai duabelas malam. Bahkan pada saat-saat tertentu, mereka menyiarkan pertunjukan wayang secara langsung. Aku beberapa kali ikut begadang menunggui teman-teman melakukan siaran relay. Semua tenaga di radio ini bersifat volunteer. Ini yang kukagumi dari mas Narko. Dia mampu memotivasi pemuda-pemuda di kampungnya mengelola radio secara sukarela tapi profesional.
Jika ada rejeki berlebih yang didapat dari iklan, mas Narko tak segan-segan bagi-bagi berkat.
Aku masih ingat, pukul delapan malam mas Narko mengetuk pintu rumahku. Dia mengajak nge-teh di pasar Munggi. Berdelapan, kami berboncengan menerobos udara dingin pegununungan menuju Munggi. Di tengah pasar sapi Munggi, ada warung sederhana yang teh poci-nya sedap. Sambil menyeruput teh panas, kami mengobrol meriah, sambil sesekali mencomot empal sapi goreng. Ehmmmmm . . . meski kolesterolnya tinggi, tapi tak apalah kalau cuma sekali-sekali. Rasanya tak kalah dengan steak sapi yang dijual di Jogja.
Sayangnya, etos kerja keras mas Narko harus dibayar mahal. Dia tidak memedulikan penyakit yang sebenarnya sudah dirasakan selama setahun lebih. Tiga bulan lalu, tubuhnya terpaksa memberikan peringatan keras kepada mas Narko. Dia harus diopname di RSD Wonosari. Semula diduga ia menderita radang tenggorokan. Ternyata diagnosisnya keliru. Dokter kemudian mengira ada tumor di lehernya. Tapi perkiraan ini meleset juga. Ketika dipindahkan ke RS Bethesda, dokter di sana mendiagnosis terkena serangan TBC. Mendengar diagnosis dokter, mas Narko masih menanggapinya dengan bercanda, 'Wah, penyakitku kurang elit! TBC 'kan penyakit orang miskin.'
Seminggu terakhir, mas Narko sudah tidak mau makan. "Kalau kondisinya seperti itu, mas Narko sepertinya tidak akan bertahan lama," kata Tanto, adik iparku. Perkiraan Tanto benar. Tuhan memanggil mas Narko pada usia 40 tahun. Dalam suasana mendung, pukul empat sore, mas Narko berangkat ke tempat peristirahatannya terakhir. Tanpa diantar oleh anak-anak dan mantan isterinya, yang sedang berlibur ke Malaysia!


* Visit my personal homepage at:
http://www.Geocities.com/purnawankristanto
* Read my writings at:
http://purnawan-kristanto.blogspot.com

Baca Tulisan lainnya di blog Purnawan Kristanto [http://purnawan-kristanto.blogspot.com
]

Komentar

Postingan Populer